Translate

KUMPULAN LP


LP GASTRITIS

A. Definisi
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung (Mansjoer Arif, 1999, hal: 492)
Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa gaster (Sujono Hadi, 1999, hal: 181).
Gastritis adalah peradangan lokal atau penyebaran pada mukosa lambung dan berkembang dipenuhi bakteri (Charlene. J, 2001, hal: 138).
Gastritis dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Gastritis akut
Salah satu bentuk gastritis akut yang sering dijumpai di klinik ialah gastritis akut erosif. Gastritis akut erosif adalah suatu peradangan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosif. Disebut erosif apabila kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam daripada mukosa muskularis.
2. Gastritis kronis
Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun (Soeparman, 1999, hal: 101). Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau oleh bakteri helicobacter pylori (Brunner dan Suddart, 2000, hal: 188).

B.  Etiologi
Penyebab gastritis adalah obat analgetik anti inflamasi terutama aspirin; bahan kimia, misalnya lisol; merokok; alkohol; stres fisis yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal pernafasan, gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat; refluk usus lambung (Inayah, 2004, hal: 58).
Gastritis juga dapat disebabkan oleh obat-obatan terutama aspirin dan obat anti inflamasi non steroid (AINS), juga dapat disebabkan oleh gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung seperti trauma, luka bakar dan sepsis (Mansjoer, Arif, 1999, hal: 492).
C.  Patofisiologi
1. Gastritis Akut
Gastritis akut dapat disebabkan oleh karena stres, zat kimia misalnya obat-obatan dan alkohol, makanan yang pedas, panas maupun asam. Pada para yang mengalami stres akan terjadi perangsangan saraf simpatis NV (Nervus vagus) yang akan meningkatkan produksi asam klorida (HCl) di dalam lambung. Adanya HCl yang berada di dalam lambung akan menimbulkan rasa mual, muntah dan anoreksia.
Zat kimia maupun makanan yang merangsang akan menyebabkan sel epitel kolumner, yang berfungsi untuk menghasilkan mukus, mengurangi produksinya. Sedangkan mukus itu fungsinya untuk memproteksi mukosa lambung agar tidak ikut tercerna. Respon mukosa lambung karena penurunan sekresi mukus bervariasi diantaranya vasodilatasi sel mukosa gaster. Lapisan mukosa gaster terdapat sel yang memproduksi HCl (terutama daerah fundus) dan pembuluh darah. Vasodilatasi mukosa gaster akan menyebabkan produksi HCl meningkat. Anoreksia juga dapat menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini ditimbulkan oleh karena kontak HCl dengan mukosa gaster.
Respon mukosa lambung akibat penurunan sekresi mukus dapat berupa eksfeliasi (pengelupasan). Eksfeliasi sel mukosa gaster akan mengakibatkan erosi pada sel mukosa. Hilangnya sel mukosa akibat erosi memicu timbulnya perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat mengancam hidup penderita, namun dapat juga berhenti sendiri karena proses regenerasi, sehingga erosi menghilang dalam waktu 24-48 jam setelah perdarahan.
2. Gastritis Kronis
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram negatif. Organisme ini menyerang sel permukaan gaster, memperberat timbulnya desquamasi sel dan muncullah respon radang kronis pada gaster yaitu: destruksi kelenjar dan metaplasia. Metaplasia adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh terhadap iritasi, yaitu dengan mengganti sel mukosa gaster, misalnya dengan sel desquamosa yang lebih kuat. Karena sel desquamosa lebih kuat maka elastisitasnya juga berkurang. Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Metaplasia ini juga menyebabkan hilangnya sel mukosa pada lapisan lambung, sehingga akan menyebabkan kerusakan pembuluh darah lapisan mukosa. Kerusakan pembuluh darah ini akan menimbulkan perdarahan (Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine, 1999: 162).
D. Manifestasi klinis
a.  Gastritis akut erosive sangat bervariasi , mulai dari yang sangat ringan asimtomatik sampai sangat berat yang dapat membawa kematian. Pada kasus yang sangat berat, gejala yang sangat mencolok adalah :
·         Hematemetis dan melena yang dapat berlangsung sangat hebat sampai terjadi renjatan karena kehilangan darah.
·         Pada sebagian besar kasus, gejalanya amat ringan bahkan asimtomatis. Keluhan – keluhan itu misalnya nyeri timbul pada uluhati, biasanya ringan dan tidak dapat ditunjuk dengan tepat lokasinya.
·         Kadang – kadang disertai dengan mual- mual dan muntah.
·         Perdarahan saluran cerna sering merupakan satu- satunya gejala.
·         Pada kasus yang amat ringan perdarahan bermanifestasi sebagai darah samar pada tinja dan secara fisis akan dijumpai tanda – tanda anemia defisiensi dengan etiologi yang tidak jelas.
·         Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak ditemukan kelainan kecuali mereka yang mengalami perdarahan yang hebat sehingga menimbulkan tanda dan gejala gangguan hemodinamik yang nyata seperti hipotensi, pucat, keringat dingin, takikardia sampai gangguan kesadaran.
b.   Gastritis kronis
1)      Bervariasi dan tidak jelas
2)      Perasaan penuh, anoreksia
3)      Distress epigastrik yang tidak nyata
4)      Cepat kenyang
E.   Penatalaksanaan
Pada gastritis, penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan:
a. Gastritis akut
1)      Instruksikan pasien untuk menghindari alkohol.
2)      Bila pasien mampu makan melalui mulut diet mengandung gizi dianjurkan.
3)      Bila gejala menetap, cairan perlu diberikan secara parenteral.
4)      Bila perdarahan terjadi, lakukan penatalaksanaan untuk hemoragi saluran gastrointestinal
5)      Untuk menetralisir asam gunakan antasida umum.
6)      Untuk menetralisir alkali gunakan jus lemon encer atau cuka encer.
7)      Pembedahan darurat mungkin diperlukan untuk mengangkat gangren atau perforasi.
8)      Reaksi lambung diperlukan untuk mengatasi obstruksi pilorus.


b. Gastritis kronis
1)      Dapat diatasi dengan memodifikasi diet pasien, diet makan lunak diberikan sedikit tapi lebih sering
2)      Mengurangi stress
3)      H. Pylori diatasi dengan antiobiotik (seperti tetraciklin ¼, amoxillin) dan gram bismuth (pepto-bismol).
F.   Komplikasi
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas.
2. Ulkus peptikum, perforasi dan anemia karena gangguan absorbsivitamin (Mansjoer, Arief 1999, hal: 493).
G.  Pemeriksaan Diagnostik
1. EGD (Esofagogastriduodenoskopi) = tes diagnostik kunci untuk perdarahan GI atas, dilakukan untuk melihat sisi perdarahan / derajat ulkus jaringan / cedera.
2. Minum barium dengan foto rontgen = dilakukan untuk membedakan diganosa penyebab / sisi lesi.
3. Analisa gaster = dapat dilakukan untuk menentukan adanya darah, mengkaji aktivitas sekretori mukosa gaster, contoh peningkatan asam hidroklorik dan pembentukan asam nokturnal penyebab ulkus duodenal. Penurunan atau jumlah normal diduga ulkus gaster, dipersekresi berat dan asiditas menunjukkan sindrom Zollinger-Ellison.
4. Amilase serum = meningkat dengan ulkus duodenal, kadar rendah diduga gastritis (Doengoes, 1999, hal: 456).
H.   Diagnosa Keperawatan
a.       Nyeri epigastrial b/d iritasi pada mukosa gaster ditandai dengan adanya gambaran nyeri ( meringis, tegang, menangis ) , perubahan tanda vital ( tachycardi ).
b.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang, output meningkat ( muntah ), gangguan absorpsi nutrient ditandai dengan TB/ BB tidak seimbang , pasien tidak dapat menghabiskan makanan yang disajikan.
c.       Kekurangan volume cairan b/d  intake yang kurang dan pengeluaran yang berlebihan ditandai dengan turgor jelek, kulit kering, produksi urine < 30 cc / jam, mual muntah, kadar elektrolit menurun.
d.      Kurang pengetahuan tentang penyebab, proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, kesalahan interpretasi ditandai dengan pasien kurang kooperatif, pertanyaan meminta informasi
I.   Intervensi Keperawatan
1. Nyeri epigastrial b/d iritasi pada mukosa gaster ditandai dengan adanya gambaran nyeri ( meringis, tegang, menangis ) , perubahan tanda vital ( tachycardi ).
Intervensi
a.     Catat keluhan nyeri, termasuk lokasi, lamanya, intensitas (skala 0-10)
Rasional: nyeri tidak selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala nyeri pasien sebelumnya, dimana dapat membantu mendiagnosa etiologi perdarahan dan terjadinya komplikasi.
b.          Kaji ulang faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
Rasional: membantu dalam membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
c.          Berikan makanan sedikit tapi sering sesuai indikasi untuk pasien
Rasional: makanan mempunyai efek penetralisir asam, juga menghancurkan kandungan gaster. Makan sedikit mencegah distensi dan haluaran gastrin.
d.         Bantu latihan rentang gerak aktif / pasif
Rasional: menurunkan kekakuan sendi, meminimalkan nyeri / ketidaknyamanan.
e.          Berikan perawatan oral sering dan tindakan kenyamanan, misal: pijatan punggung, perubahan posisi
Rasional: nafas bau karena tertahannya sekret mulut menimbulkan tak nafsu makan dan dapat meningkatkan mual.
f.           Berikan obat sesuai indikasi, misal: Antasida
Rasional: menurunkan keasaman gaster dengan absorbsi atau dengan menetralisir kimia.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang, output meningkat ( muntah ), gangguan absorpsi nutrient ditandai dengan TB/ BB tidak seimbang , pasien tidak dapat menghabiskan makanan yang disajikan.
Intervensi
a.          Izinkan klien memilih makanan (makanan rendah kalori tidak diperbolehkan)
Rasional : agar pasien mau memakan diitnya dan mengembalikan status nutrisinya
b.          Buat struktur waktu makan dengan batasan waktu (misalnya 40 menit)
Rasional : untuk menjaga agar lambung tetap terisi/stabil
c.          Sajikan makanan dalam keadaaa yang hangat
Rasional : untuk meningkatan nafsu makan pasien
d.         Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : dan mencegah terjadinya peningkatan asam lambung
e.          Bila makanan tidak dimakan, lakukan pemberian makan melalui selang, NGT sesuai pesanan dalam keadaan seperti ini jangan berikan penawaran pada klien.
Rasional : untuk menjaga nutrisi dalam tubuh agar tidak terjadi kekurangan
3. Kekurangan volume cairan b/d  intake yang kurang dan pengeluaran yang berlebihan ditandai dengan turgor jelek, kulit kering, produksi urine < 30 cc / jam, mual muntah, kadar elektrolit menurun.
Intervensi
a.       Catat karakteristik muntah dan / atau drainase
Rasional : membantu dalam membedakan penyebab distres gaster. Kandungan empedu kuning kehijauan menunjukkan bahwa pilorus terbuka. Kandungan fekal menunjukkan obstruksi usus. Darah merah cerah menandakan adanya atau perdarahan arterial akut.
b.       Awasi tanda vital
Rasional: perubahan tekanan darah dan nadi dapat digunakan perkiraan kasar kehilangan darah (misal: TD <> 110 diduga 25% penurunan volume atau kurang lebih 1000 ml).
c.       Awasi masukan dan haluaran dihubungkan dengan perubahan berat badan. Ukur kehilangan darah / cairan melalui muntah, penghisapan gaster / lavase, dan defekasi
Rasional: memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
d.      Pertahankan tirah baring, mencegah muntah dan tegangan pada saat defekasi. Jadwalkan aktivitas untuk memberikan periode istirahat tanpa gangguan.
Rasional: aktivitas / muntah meningkatkan tekanan intra-abdominal dan dapat mencetuskan perdarahan lanjut.
e.       Tinggikan kepala tempat tidur selama pemberian antasida
Rasional: mencegah refleks gaster pada aspirasi antasida dimana dapat menyebabkan komplikasi paru serius.
f.       Berikan cairan / darah sesuai indikasi
Rasional: penggantian cairan tergantung pada derajat hipovolemia dan lamanya perdarahan (akut atau kronis)
g.      Berikan obat sesuai indikasi:
Ranitidin (zantac), nizatidin (acid).
Rasional: penghambat histamin H2 menurunkan produksi asam gaster.
Antasida (misal: Amphojel, Maalox, Mylanta, Riopan)
Rasional: dapat digunakan untuk mempertahankan pH gaster pada tingkat 4,5 atau lebih tinggi untuk menurunkan risiko perdarahan ulang.
h.      Antiemetik (misal: metoklopramid / reglan, proklorperazine / campazine)
Rasional: menghilangkan mual dan mencegah muntah.















DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddart. 2000. Medical Surgical Nursing. Jakarta : EGC

Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta :EGC

Mansjoer, Arief 1999. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : EGC

Price, Sylvia Andrson.1995. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC


http://wayanpuja.blinxer.com/?page_id=190


APPENDICITIS KRONIS

A.    Pengertian Appendicitis
Appendisitis adalah peradangan dari suatu appendiks.
Appendsitis adalah keadaan yang disebabkan oleh peradangan yang mendadak pada suatu appendiks ( Baratajaya, 1990)
Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisitis verniformis dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner & Suddart, 2006)

B.     Etiologi
Appendicitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor prediposisi yang menyertai. Factor tersering yang muncul adalah
1.      obtruksi lumen, pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2.       Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus
3.       Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4.       Tergantung pada bentuk appendiks
5.      Appendik yang terlalu panjang.
6.       Messo appendiks yang pendek.
7.       Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
8.       Kelainan katup di pangkal appendiks

C.     Klasifikasi Appendisitis
Klasifikasi Apendisitis ada 2 :
1.      Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2.      Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.
D.    Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala :
1.      Appendisitis Akut
-        Pada awalnya mengeluh tidak enak disekitar epigastrium umbilikus
-        Anoreksia
-        Malaise
-        Muntah
-        Nyeri menjalar kekanan bawah disertai rasa sakit yang jelas, Rasa sakit di kanan bawah disebabkan karena infeksi sudah menerobos peritonium visceral, kemudian peritonium parietale.
2.      Appendisitis Kronis
a.       Reccurent/Interval Appendicitis:
-        Penyakit sudah berulang – ulang dan ada interval bebas.
-        Biasanya pada anamnesa ada appendicitis acuta kemudian sembuh, setelah beberapa lama kumat lagi tapi lebih ringan.
-        Gejala utama dari kumat I dan kumat II dst adalah gejala  (diare, mual-mual, enek, tidak enak makan).
-        Pemeriksaan klinis: Nyeri di titik Mc Burney’s tapi tidak ada defence.
b.      Reccurent Appendicular Colic:
-        Ada obstruksi pada lumen appendixnya.
-        Gejala utama: kolik, tetapi tidak ada panas. Kolik disekitar umbilicus/ ke arah lateral/ epigastrium.
-        Pemeriksaan fisik: Nyeri tekan di Appendix
E.     Patofisiologi

Penyebab utama appendisitis adalah obstruksi penyumbatan yang dapat disebabkan oleh hiperplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab terbanyak,adanya fekalit dalam lumen appendiks. Adanya benda asing seperti cacing, stiktura karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, sebab lain misalnya keganasan (karsinoma karsinoid).
Obsrtuksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung, makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.
Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat, sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan appendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis abses. Pada anak – anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis kronis (Junaidi ).
F.      Pathway
Idiopatik                              makan tak teratur                            Kerja fisik yang keras


 

                                        Massa keras feses
                                       
                                        Obstruksi lumen
                                       
                                        Suplay aliran darah menurun
                                        Mukosa terkikis
 

·         Perforasi                      Peradangan pada appendiks                       distensi abdomen
·         Abses
·         Peritonitis                                  Nyeri
Menekan gaster

Appendiktomy             pembatasan intake cairan       peningk prod HCL                                                                           

Insisi bedah                                                                           mual, muntah
Resiko terjadi infeksi
 

Resiko kurang volume cairan
 
nyeri
 
                                                                             













G.    Asuhan Keperawatan
Post Operasi Apendik
Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi terhadap infeksi b.d perforasi pada apendik dan tidak adekuatnya pertahanan utama.
2.      Nyeri b.d anatomi ureter yang berdekatan dengan apendik oleh inflamasi
3.      Intoleransi aktivitas b.d keadaan nyeri yang mengakibatkan terjadinya penurunan pergerakan akibat nyeri akut
Intervensi
1.      Gangguan rasa nyaman b.d insisi pembedahan
Tujuan :
-        Nyeri berkurang

Kriteria Hasil :
-        Pasien mengatakan nyeri berkurang, tidak takut melakukan mobilisasi, pasien dapat istirahat dengan cukup, skala nyeri sedang.

Intervensi :
a.       Beri penjelasan pada pasien tentang sebab dan akibat nyeri
b.      Ajarkan tehnik relaksasi dan destraksi
c.       Bantu pasien posisi yang nyaman
d.      Rawat luka secara teratur dan aseptik
e.       Berikan analgetik sesuai kondisi

2.      Nyeri b.d anatomi ureter yang berdekatan dengan apendik oleh inflamasi
Tujuan :
-        infeksi pada luka operasi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
-        tidak ada tenda-tanda infeksi
Intervensi :
a.       Beri penjelasan pada pasien tentang pentingnya perawatan luka dan tanda-tanda infeksi
b.      Rawat luka secara teratur dan aseptik
c.       Jaga luka agar tetap bersih dan kering
d.      Jaga kebersihan pasien dan lingkunganya
e.       Pantau TTV

3.      Cemas b.d kurangnya informasi dari antibiotik menghambat proses infeksi dalam tubuh
Tujuan :
-        Rasa cemas berkurang
Kriteria Hasil :
-        Pasien dapat mengekspresikan kecemasan secara konstruktif
-        Pasien dapat tidur dengan tenang
Intervensi :
a.       Jelaskan keadaan proses penyebab dan penyakitnya
b.      Jelaskan pengaruh psikologis terhadap fisiknya
c.       Jelaskan tindakan perawatan yang akan diberikan













Daftar Pustaka

1.      Baratajaya, Medikal Bedah, EGC, Jakarta, 2005
2.      Purnama Junaidi, Atiek S. Soemasto, Husna Amels,Kapita selecta kedokteran edisi II Media Aeskulis, FKUI ; 2005
3.      Brunner & Suddart, 2006
4.      Doenges, Marilynn E. (2003). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta. EGC
5.      Price, SA, Wilson,LM. (2004). Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Buku Pertama. Edisi 4. Jakarta. EGC

LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN 
DIABETES MELITUS

A.    Pengertian
            Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta berkembangnya komplikasi mikrovaskuler, makrovaskuler dan neurologist (Long, 1996 : 4).
            Diabetes Mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, 2002 : 1220).
            Diabetes militus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang dikonsumsi (Brunner dan Suddarth, 2002).

B. Etiologi
            Faktor penyebab terjadinya Diabetes Mellitus (Sjaifoellah, 1996 : 692) yaitu :
1.      Faktor keturunan
Karena adanya kelainan fungsi atau jumlah sel–sel betha pancreas yang bersifat genetic dan diturunkan secara autosom dominant sehingga mempengaruhi sel betha serta mengubah kemampuannya dalam mengenali dan menyebarkan rangsang yang merupakan bagian dari sintesis insulin.
2.      Fungsi sel pancreas dan sekresi insulin berkurang
Jumlah glukosa yang diambul dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan oleh jaringan perifer tergantung keseimbangan fisiologis beberapa hormon. Hormon yang menurunkan glukosa darah yaitu insulin yang dibentuk sel betha pulau pancreas.]
3.      Kegemukan atau obesitas
Terjadi karena hipertrofi sel betha pancreas dan hiperinsulinemia dan intoleransi glukosa kemudian berakhir dengan kegemukan dengan diabetes mellitus dan insulin insufisiensi relative.
4.      Perubahan pada usia lanjut berkaitan dengan resistensi insulin
Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post reseptor.

C. Tipe Diabetes
ª      Tipe I         : Diabetes melitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
ª      Tipe II       : Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non- Insulin Dependent Diabetes Melitus)
ª      Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan sindrom lainya
ª      Diabetes Melitus Gestasional

D.  Manifestasi Klinik
            Gejala diabetes mellitus type 1 muncul secara tiba–tiba pada usia anak–anak sebagai akibat dari kelainan genetika sehingga tubuh tidak memproduksi insulin dengan baik. Gejala–gejalanya antara lain adalah sering buang air kecil, terus menerus lapar dan haus, berat badan turun, kelelahan, penglihatan kabur, infeksi pada kulit yang berulang, meningkatnya kadar gula dalam darah dan air seni, cenderung terjadi pada mereka yang berusia dibawah 20 tahun.
            Sedangkan diabetes mellitus tipe II muncul secara perlahan–lahan sampai menjadi gangguan kulit yang jelas, dan pada tahap permulaannya seperti gejala pada diabetes mellitus type I, yaitu cepat lemah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, sering buang air kecil, terus menerus lapar dan haus, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit yang berkepanjangan, biasanya terjadi pada mereka yang berusia diatas 40 tahun tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak–anak dan remaja.
            Gejala–gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja. Jika glukosa darah sudah tumpah ke saluran urine sehingga bila urine tersebut tidak disiram akan dikerubungi oleh semut adalah tanda adanya gula.
Gejala lain yang biasa muncul adalah penglihatan kabur, luka yang lama sembuh, kaki terasa keras, infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita, impotensi pada pria.
E. Komplikasi
            Komplikasi diabetes mellitus terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik (Carpenito, 2001).
Komplikasi Akut, ada 3 komplikasi akut pada diabetes mellitus yang penting dan berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah (Smeltzer, 2002 : 1258)
1.      Diabetik Ketoasedosis (DKA)
Ketoasedosis diabetik merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes mellitus. Diabetik ketoasedosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata ( Smeltzer, 2002 : 1258 )
2.      Koma Hiperosmolar Nonketotik (KHHN)
Koma Hiperosmolar Nonketotik merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran. Salah satu perbedaan utama KHHN dengan DKA adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada KHHN (Smetzer, 2002 : 1262)
3.      Hypoglikemia
Hypoglikemia (Kadar gula darah yang abnormal yang rendah) terjadi kalau kadar glukoda dalam darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian preparat insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit (Smeltzer, 2002 : 1256)

Komplikasi kronik Diabetes Melitus pada adsarnya terjadi pada semua pembuluh darah diseluruh bagian tubuh (Angiopati Diabetik). Angiopati Diabetik dibagi menjadi 2 yaitu (Long 1996) :

1.      Mikrovaskuler
a.       Penyakit Ginjal
Salah satu akibat utama dari perubahan–perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktural dan fungsi ginjal. Bila kadar glukosa darah meningkat, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang menyebabkan kebocoran protein darah dalam urin (Smeltzer, 2002 : 1272)
b.      Penyakit Mata (Katarak)
Penderita Diabetes melitus akan mengalami gejala penglihatan sampai kebutaan. Keluhan penglihatan kabur tidak selalui disebabkan retinopati (Sjaifoellah, 1996 : 588). Katarak disebabkan karena hiperglikemia yang berkepanjangan yang menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa (Long, 1996 : !6)
c.       Neuropati
Diabetes dapat mempengaruhi saraf - saraf perifer, sistem saraf otonom, Medsulla spinalis, atau sistem saraf pusat. Akumulasi sorbital dan perubahan–perubahan metabolik lain dalam sintesa atau fungsi myelin yang dikaitkan dengan hiperglikemia dapat menimbulkan perubahan kondisi saraf (Long, 1996 : 17)

2.      Makrovaskuler
a.       Penyakit Jantung Koroner
Akibat kelainan fungsi pada jantung akibat diabetes melitus maka terjadi penurunan kerja jantung untuk memompakan darahnya keseluruh tubuh sehingga tekanan darah akan naik atau hipertensi. Lemak yang menumpuk dalam pembuluh darah menyebabkan mengerasnya arteri (arteriosclerosis), dengan resiko penderita penyakit jantung koroner atau stroke
b.      Pembuluh darah kaki
Timbul karena adanya anesthesia fungsi saraf – saraf sensorik, keadaan ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren. Infeksi dimulai dari celah–celah kulit yang mengalami hipertropi, pada sel–sel kuku yang tertanam pada bagian kaki, bagia kulit kaki yang menebal, dan kalus, demikian juga pada daerah–daerah yang tekena trauma (Long, 1996 : 17)


c.       Pembuluh darah otak
Pada pembuluh darah otak dapat terjadi penyumbatan sehingga suplai darah ke otak menurun (Long, 1996 : 17)

F.  Pathofisiologi

Dalam keadaan normal jika terdapat insulin, asupan glukosa/produksi glukosa yang melebihi kebutuhan kalori akan disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses glikogenesis ini mencegah hiperglikemia (kadar glukosa darah > 110 mg/dl). Pada pasien DM, kadar glukosa dalam darah meningkat/tidak terkontrol, akibat rendahnya produk insulin/tubuh tidak dapat menggunakannya, sebagai sel-sel akan starvasi. Bila kadar meningkat akan dibuang melalui ginjal yang akan menimbulkan diuresi sehingga pasien banyak minum (polidipsi). Glukosa terbuang melalui urin maka tubuh kehilangan banyak kalori sehingga nafsu makan meningkat (poliphagi). Akibat sel-sel starvasi karena glukosa tidak dapat melewati membran sel, maka pasien akan cepat lelah.

G.  Pemeriksaan Diagnostik

            Pemeriksaan yang dilakukan sebagai penunjang diagnostik medis antara lain:
1.      Pemeriksaan gula darah
      Orang dengan metabolisme yang normal mampu mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dl (engliglikemi) dalam kondisi asupan makanan yang berbeda-beda. Test dilakukan sebelum dan sesudah makan serta pada waktu tidur.
2.      Pemeriksaan dengan Hb
      Dilakukan untuk pengontrolan DM jangka lama yang merupakan Hb minor sebagai hasil dari glikolisis normal.
3.      Pemeriksaan Urine
      Pemeriksaan urine dikombinasikan dengan pemeriksaan glukosa darah untuk memantau kadar glukosa darah pada periode waktu diantara pemeriksaan darah.
H.  Diagnosa Keperawatan
            Diagnosa yang mungkin timbul pada pasien DM:
ª      Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan keluarga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetus mellitus seperti pengertian, penyebab, tanda dan gejala.
ª      Resiko terjadi komplikasi lebih lanjut pada klien berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit.
ª      Ketidakmampuan keluarga dalam memelihara lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan berhubungan dengan kurang mengatur keuntungan dan pemeliharaan rumah yang sehat.















I.  Intervensi
DP
Tujuan
Intervensi
Rasional
Ketidak mampuan keluarga mengenal masalah kesehatan keluarga berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetus mellitus seperti pengertian, penyebab, tanda dan gejala.






Resiko terjadi komplikasi lebih lanjut pada klien berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit.

















Ketidakmampuan keluarga dalam memelihara lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan berhubungan dengan kurang mengetahui keuntungan dan pemeliharaan rumah yang sehat.
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan selama I Minggu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan yang terjadi pada klien dan keluarga mampu :
  1. Menyebutkan pengertian DM.
  2. Menyebutkan penyebab DM.
  3. Menyebutkan tanda dan gejala DM.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama I Minggu keluarga mampu merawat anggota keluarga yang sakit untuk mencegah komplikasi, keluarga juga mampu :
  1. Menyebutkan komplikasi DM.
  2. Menyebutkan cara penanganan DM.
  3. Menyebutkan makanan yang tidak boleh di makan/bebas dimakan, boleh dimakan tapi dibatasi.







Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama I Minggu keluarga mampu memelihara lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan, keluarga juga mampu :
1.      Menyebutkan arti rumah sehat.
2.      Menyebutkan ciri rumah sehat.
3.      Memodifikasi dan memelihara lingkungan yang sehat.
¨      Kaji pengetahuan keluarga tentang pengertian DM, penyebab DM, tanda dan gejala DM.
¨      Jelaskan pada keluarga tentang pengartian DM, penyebab DM, tanda dan gejala DM.
¨      Beri kesempatan pada keluarga untuk mengungkapkan.



¨      Kaji pengetahuan keluarga tentang koplikasi DM, penanganan DM, makanan yang tidak boleh dimakan/bebas dimakan dan boleh tapi dibatasi.
¨      Jelaskan pada keluarga tentang komplikasi DM, penanganan DM dan makanan yang tidak boleh dimakan/bebas dimakan dan boleh tapi dibatasi.
¨      Berikesempatan pada keluarga untuk mengungkapkan.
¨      Beri reiforcement positif pada keluarga atas jawaban yang benar.

¨      Kaji pengetahuan keluarga tentang arti rumah sehat dan ciri rumah sehat.

¨      Suport keluarga untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah.

¨      Jelaskan pada keluarga tentang pentingnya lingkungan yang sehat bagi peningkatan derajat kesehatan.

¨      Menetahui tingkat pengetahuan keluarga tentang DM.












¨      Agar keluarga mengetahui komplikasi DM.
¨      Keluarga mampu melakukan perawatan mandiri pada DM.

















¨      Agar Keluarga dapat hidup dilingkungan yang sehat







DAFTAR PUSTAKA


   Brunner and Suddarth. (2002). Text book of Medical-Surgical Nursing. EGC. Jakarta.
   Carpenito, L.J. (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta.
Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.
Sjaifoellah, N. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit  Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Smeltzer, S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C. (1996). Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Alih Bahasa, Yayasan Ikatan Alumni pendidikan Keperawatan Padjadjaran. Bandung: YPK

LP CEDERA KEPALA


A.    Cedera Kepala


Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mepunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.( Haris,2000)
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan. ( Asikin, 1991)

B.     Etiologi
1.      kecelakan kendaraan
2.                      pukulan/benturan
3.                      terjatuh
4.                      kecelakaan lain
C.    Klasifikasi  Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data Bank  mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma scale)

Tabel 1.       Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala    berdasarkan Nilai Skala Koma Glasgow (SKG)
Penentuan
keparahan
Deskripsi
Minor/ Ringan
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma
Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intracranial
sumber :keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226

Tabel 2. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1.         Membuka Mata
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada

4
3
2
1
2.         Respon Verbal
Orientasi baik
orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
 Tidak ada respon

5
4
3
2
1
3.         Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon

6
5
4
3
2
1
Total
3 - 15


Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi:
1.            Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung kurang dari 30 menit.
2.            Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
3.            Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.

Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan jumlah Skala Koma Glasgow (SKG) saat masuk rumah sakit merupakan definisi yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).

D.    Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.

1.      Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.

2.      Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan. Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus. Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku  terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus. Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
 Cedera otak sekunder tejadi setiap saat setelah terjadi benturan. Factor-faktor yang menyebabkan cedera otak sekunder adalah:
1.      Hematoma intrakranial
a.       Epidural
b.      Subdural
c.       Intraserebral
d.      Subarahnoid
2.      Pembengkakan otak
Mungkin terjadi dengan atau tanpa hematoma intrakranial. Hal ini diakibatkan timbunan cairan intra atau ekstrasekuler atau bendung vaskuler.
3.      Iskhemi serebral, akibat dari:
a.       Hipoksia / hiperkarbi
b.      Hipotensi
c.       Peninggian tekanan intrakranial
4.      Infeksi : Meningitis, abses serebri

E.     Tipe trauma kepala
a.      Trauma kepala terbuka
1)      Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.
2)      Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
3)      Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
4)      Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.
5)      Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway).
b. Trauma kepala tertutup
 1) Komotio serebri (gegar otak)
Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic.

2)      Edema serebri traumatic
 Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat.

3)      Kontusio serebri
Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak.
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).
4)   Perdarahan  Intrakranial
a)         Perdarahan Epidural
                        Perdarahan epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progesif disertai kelainan neurologis unilateral. Kemudian gejala neurologis timbul secara progesif berupa pupil anisokor, hemiparese, papiledema dan gajala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebelar dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
b)                      Perdarahan Subdural
Terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa terjasi perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya perdarahan akibat pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek serebri dan sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun dapat pula terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.
c)                  Perdarahan subarahnoid
Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan subfebril. Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma. Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.
F.     Manifestasi Klinis
1.                  Gangguan kesadaran
2.                  Konfusi
3.                  Abnormalitas pupil
4.                  Awitan tiba-tiba defisit neurologik
5.                  Perubahan tanda vital
6.                  Gangguan penglihatan dan pendengaran
7.                  Disfungsi sensory
8.                  Kejang otot
9.                  Sakit kepala
10.              Vertigo
11.              Gangguan pergerakan
12.              Kejang

G.    Evaluasi Diagnostik
1.      CT scan
2.      MRI
3.      Angiografi cerebral

H.    Penatalaksanaan
1.      Tindakan terhadap peningkatan TIK
a.       pemantauan TIK dengan ketat
b.      oksigenasi adekuat
c.       pemberian mannitol
d.      penggunaan steroid
e.       peningkatan kepala tempat tidur
f.       bedah neuro
2.      Tindakan pendukung lain
a.       dukungan ventilasi
b.      pencegahan kejang
c.       pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi
d.      terapi antikonvulsan
e.       klorpromazin à menenangkan pasien
f.       selang nasogastrik

I.       Diagnosa Keperawatan
1.         Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2.         Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3.         Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak
4.         Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum
5.         Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous koma)
6.         Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
7.         Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.

J.      INTERVENSI KEPERAWATAN
1)      Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
a.       Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:  Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

Intervensi
Rasional
1.      Tentukan faktor-faktor yg  menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
2.      Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.


3.      Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.




4.      Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.










5.      Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.





6.      Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

7.      Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.


Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.

Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.

Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.











2)      Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
·         mempertahankan pola pernapasan efektif..
       Kriteria evaluasi:
·         bebas sianosis, GDA dalam batas normal

Intervensi
Rasional
1.      Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.

2.      Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.

3.      Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.

4.      Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.

Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.

Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.



Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.


Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.




3)      Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak.
Tujuan:  Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
   Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi
Rasional
1.      Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.

2.      Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

3.      Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
4.      Berikan antibiotik sesuai indikasi



Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.


Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.



Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.

DAFTAR PUSTAKA


Mima M.2001.Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam Basa. Jakarta : EGC Muhammad,Wahit Iqbal dkk. 2007.Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia.
            Jakarta : EGC
Smeltzer, S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Buku      
             Kedokteran EGC.
T.Heather Herdman.2008.Diagnosis Keperawatan.Jakarta : EGC
Wilkinson,judith M.2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan NIC NOC Edisi 7.
           Jakarta : EGC